YOGYAKARTA- Sistem pertanian dengan System of Rice Intensification (SRI) selama ini diketahui dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Selain itu, melalui metode tersebut, kelestarian lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik, apalagi dengan dapat dihematnya penggunaan air di dalamnya. Melihat celah pengembangan sistem/metode pertanian SRI ini, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, menggandeng para petani di DIY untuk mengembangkan sistem pertanian SRI.
Dosen Jurusan Teknik Pertanian, Prof. Dr. Ir. Sigit Supadmo, M.Eng., mengatakan setidaknya telah ada lebih dari 300-an petani se-DIY yang telah didampingi untuk mengembangkan sistem SRI ini. Di samping melakukan pendampingan kepada para petani, mereka juga fokus pada penelitian-penelitian keunggulan sistem SRI tersebut. “Penelitian yang juga melibatkan para dosen maupun mahasiswa,” ujar Sigit di sela-sela acara pengumuman pemenang lomba SRI dan panen bersama SRI di lokasi Demplot, Dusun Jering VI, Sidorejo, Godean, Sleman, Kamis (28/10). Kegiatan ini merupakan kerja bersama antara FTP UGM-Forum Petani SRI-Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak.
Sigit menjelaskan sistem SRI memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan sistem yang biasa dilakukan oleh para petani. Keunggulan sistem ini, antara lain, adalah menghemat penggunaan air, bibit yang sedikit, dan produksi yang lebih melimpah.
Ia memberikan gambaran pemanfaatan bibit padi yang sudah dapat digunakan pada usia yang relatif muda sekitar 10 hari hingga penghematan jumlah bibit yang ditanam, tetapi tetap dapat menghasilkan/produksi padi yang lebih banyak. Sementara jika dengan sistem tanam non-SRI, benih yang dapat digunakan harus mencapai sekitar 20 hari. “Yang dikembangkan ada sekitar 42 jenis varietas padi untuk sistem SRI ini. Hasilnya sejauh ini produksi cukup bagus, bermutu, dan penghasilan petani melimpah,” kata Sigit. Beberapa nama jenis varietas padi yang ditanam di lokasi tersebut ialah maros, batas gadis, pandanwangi, code, sarinah, somali, dll.
Senada dengan Sigit, petani dari Karangmojo, Sunaryo, juga mengakui sistem SRI memiliki banyak keunggulan. Secara gamblang, ia memberikan gambaran tentang dapat dihematnya penggunaan bibit padi. Dengan SRI, bibit padi yang digunakan hanya sekitar 0,5 kg atau 1 kg. Namun, ketika memakai sistem yang bukan SRI, bibit yang digunakan dapat mencapai 10 kg.
Sementara itu, untuk hasil produksi juga meningkat drastis ketika menggunakan sistem SRI. Dengan hanya memanfaatkan sekitar 7,5 kg benih padi, mereka dapat memanen padi hingga 1 ton padi kering giling. Namun, ketika menggunakan sistem yang bukan SRI, dengan menggunakan 15 kg benih padi, hasilnya masih saja terbatas sekitar 7-8 kuintal saja. “Dari situ kan bisa dilihat keunggulan sistem SRI ini, Mas, maka para petani di daerah saya di Gunung Kidul banyak yang sudah memanfaatkannya karena otomatis penghasilan kita meningkat,” kata Sunaryo yang juga menjadi juara I tingkat Kabupaten Gunung Kidul dalam lomba tersebut.
Sebelumnya, Ketua Pelaksana Forum Petani SRI DIY, Nuryanto, mengatakan lomba ini digelar setiap satu tahun sekali. Untuk lomba tahun 2010 ini diikuti oleh 220 peserta, yang terdiri atas 63 petani dari Bantul, 30 dari Gunung Kidul, 74 dari Kulon Progo, 35 orang dari Sleman Barat, dan 18 petani dari Sleman Timur.
Dari sejumlah peserta lomba ini, kemudian dibagi juaranya per kabupaten. Selain itu, ditentukan pula pemenang/juara umum tingkat provinsi yang jatuh pada Sugeng (petani asal Temon, Kulon Progo). “Juara pertama dalam produksinya bahkan bisa mencapai 12,88 ton padi,” ujar Nuryanto.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak, Kementerian Pekerjaan Umum, Ir. Bambang Harono, Dipl.H.E., mengatakan sistem pertanian SRI di samping memiliki keunggulan dan penghematan dari sisi benih dan air, sekaligus mampu mengurangi konflik sosial yang biasa dijumpai antarpetani ketika membagi air.
Sistem SRI cukup membantu program pemerintah dalam hal ketahanan pangan, juga sangat bersahabat dengan cuaca dan iklim di Indonesia. Metode yang berasal dari Madagaskar dan ditemukan sekitar 20 tahun lalu ini ternyata dalam perkembangannya mendapat sorotan dan perhatian dunia internasional. Ini terbukti dengan hadirnya serombongan turis asing dari Amerika Serikat, Nepal, Italia, Afrika Selatan, Belanda, China, Korea, Taiwan, Jepang, dan beberapa negara lain ke Dusun Jering VI, Sidorejo, Godean, Sleman. Para wisatawan manca tersebut hendak menyaksikan secara langsung lahan pertanian organik dengan metode SRI. “Harusnya dengan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, hari ini, generasi muda bisa terus mengembangkan metode SRI karena cukup bersahabat dengan alam dan membantu program pemerintah dalam ketahanan pangan,” kata Bambang. (Humas UGM/Satria)