Yogyakarta, Oktober 2025 — Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (DTPB FTP UGM), melaksanakan kegiatan pengumpulan data lapangan sebagai bagian dari penyusunan Peta Jalan (Road Map) Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan).
Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, antara lain kelompok tani, pelaku industri, dan praktisi teknologi pertanian. Kegiatan lapangan dilaksanakan melalui serangkaian wawancara mendalam dan diskusi bersama para pelaku di tingkat pengguna maupun industri, meliputi:
- Bapak Didik Purwadi, Bapak Warsita, Bapak Hartaya, dan Bapak Jaimin (UPJA Taju Jawa Prambanan), pada Selasa, 7 Oktober 2025 pukul 12.00–16.00 WIB;
- Bapak Harry Kasuma Aliwarga (Bapak Kiwi), Co-founder Frog Indonesia, pada Minggu, 12 Oktober 2025 pukul 18.00–21.00 WIB; serta
- Bapak Wawan Kartika Hadi, perwakilan CV Karya Hidup Sentosa (QUICK Traktor) dan Bapak Muhammad Luthfi Dinsaputro dari PT Madu Baru, pada Selasa, 14 Oktober 2025 pukul 19.00–21.00 WIB.
Dinamika dan Tantangan di Tingkat Petani
Dalam kunjungan ke UPJA Taju Jawa Prambanan, para pengurus kelompok tani menyampaikan berbagai perubahan yang terjadi pasca menurunnya masa kejayaan tembakau di wilayah mereka. Menurut Bapak Didik Purwadi, wilayah yang dahulu bergantung pada komoditas tembakau kini mulai beralih ke hortikultura dan padi, menyesuaikan kondisi irigasi dan daya dukung lahan.
“Dulu waktu kejayaan tembakau itu, hidup 20 orang hanya dari tembakau saja. Sekarang sudah tidak ada lagi. Petani mulai mencari komoditas pengganti yang bisa ikonik seperti tembakau,” tutur Bapak Didik.
Beliau juga menyoroti tantangan dalam pengelolaan Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Banyak petani enggan memiliki alsintan secara mandiri karena keterbatasan modal dan kompleksitas perawatan.
“UPJA itu kan banyak item mulai dari operasional, maintenance, sampai manajerial. Jadi tidak semua petani siap mengurusnya. Kebanyakan memilih menyewa saja,” tambahnya.
Selain itu, diskusi juga menyinggung soal hibah pemerintah yang belum selalu sesuai dengan kebutuhan lapangan. Beberapa bantuan alat seperti pompa air atau traktor kerap kali tidak digunakan karena spesifikasi teknis yang tidak cocok dengan kondisi setempat.
“Kadang yang tidak dapat bantuan malah jalan, tapi yang dapat malah nganggur,” ujar salah satu pengurus kelompok.
Dari hasil observasi, para petani menilai bahwa modernisasi pertanian harus diimbangi dengan pendampingan teknis dan pelatihan yang berkelanjutan agar bantuan alat tidak hanya berhenti di tahap distribusi, tetapi juga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di lapangan.

Perspektif Industri: Harmonisasi Regulasi, Tantangan TKDN, dan Sinergi Sektor Perkebunan
Dalam diskusi bersama Bapak Wawan Kartika Hadi dari CV Karya Hidup Sentosa (QUICK Traktor) dan Bapak M. Luthfi Dinsaputro dari PT Madu Baru, dibahas berbagai isu strategis terkait sinkronisasi kebijakan industri Alsintan, implementasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta kolaborasi antara industri manufaktur dan sektor perkebunan.
Bapak Wawan menjelaskan bahwa kompleksitas regulasi antar kementerian (seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan) menjadi salah satu penghambat utama dalam pembinaan industri dalam negeri.
“Masalah sertifikasi Alsintan itu berat, karena ada tiga hal yang terlibat: TKDN, SNI, dan merek dagang. Ketiganya punya aturan dan masa berlaku berbeda, padahal semua dibutuhkan untuk satu produk yang sama,” ungkap Bapak Wawan.
Beliau juga menyoroti Permenperin Nomor 35 Tahun 2025 yang akan mengatur tata cara baru perhitungan TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP), yang diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan mengurangi peluang permainan di tingkat surveior.
“Aturan baru ini lebih jelas. Tapi tetap harus ada pengawasan agar tidak terjadi perbedaan nilai TKDN antara satu lembaga dengan yang lain,” tambahnya.
Sementara itu, Bapak Lutfi Dinsaputra dari PT Madu Baru menyoroti pentingnya sinergi antara industri manufaktur Alsintan dengan sektor perkebunan dan gula. Menurutnya, kebutuhan alsintan di industri gula dan tebu memiliki karakteristik tersendiri yang sering kali belum terakomodasi dalam kebijakan nasional.
“Kebutuhan alat untuk sektor perkebunan seperti tebu itu sangat spesifik, dari mesin tanam, alat panen, sampai sistem transportasi bahan baku. Karena itu, perlu kolaborasi yang lebih kuat antara industri alsintan dengan pabrik gula agar inovasi alat bisa benar-benar terpakai,” ujar Bapak Lutfi.
Beliau juga menekankan pentingnya transfer teknologi dan riset terapan untuk menjembatani kebutuhan lapangan dengan kemampuan produksi industri dalam negeri.
“Kita perlu riset yang berangkat dari masalah nyata di pabrik dan di kebun, supaya produk dalam negeri bisa bersaing dan berfungsi optimal,” tambahnya.
Selain aspek regulasi, isu harmonisasi antar kementerian juga menjadi perhatian utama. Menurut para narasumber, koordinasi lintas sektor harus diperkuat agar kebijakan industri nasional tidak tumpang tindih dengan kebijakan pertanian dan perdagangan, serta mampu mendorong kemandirian teknologi Alsintan nasional.
Perspektif Industri: Kemandirian Teknologi dan Data Pertanian
Pertemuan dengan Bapak Kiwi Aliwarga, Co-founder Frog Indonesia, memberikan wawasan tentang arah pengembangan pertanian berbasis data dan otomasi di Indonesia. Menurutnya, masa depan industri pertanian nasional akan sangat ditentukan oleh integrasi antara teknologi IoT (Internet of Things), otomatisasi, dan kecerdasan buatan.
“Lima sampai sepuluh tahun ke depan, pertanian akan menuju sistem yang autonomous dan robotik. Semua proses akan otomatis dan berbasis data,” jelas Bapak Kiwi.
Frog Indonesia, sebagai perusahaan teknologi berbasis pertanian, berupaya mengembangkan berbagai inovasi seperti smart farming, bibit unggul berbasis data, serta pupuk organik yang disesuaikan dengan kondisi ekosistem mikro di lapangan. Ia menegaskan bahwa tantangan terbesar saat ini bukan hanya pada sisi teknologi, melainkan juga ketersediaan dan keakuratan data pertanian yang menjadi dasar pengambilan keputusan di tingkat nasional.
“Kesalahan data bisa berakibat pada keputusan kebijakan yang tidak tepat. Karena itu, data harus menjadi tulang punggung sistem pertanian masa depan,” ujarnya.
Kegiatan pengumpulan data lapangan ini menjadi bagian penting dalam penyusunan Peta Jalan (Road Map) Alsintan yang berorientasi pada kebutuhan nyata di lapangan. Hasil diskusi dengan petani, pelaku industri teknologi, dan produsen Alsintan menunjukkan bahwa pengembangan mekanisasi pertanian nasional perlu diarahkan pada:
- Peningkatan kesesuaian teknologi dengan konteks lokal, termasuk irigasi, komoditas, dan daya dukung lahan;
- Peningkatan kapasitas SDM dan pendampingan teknis berkelanjutan;
- Integrasi teknologi berbasis data untuk efisiensi dan ketepatan kebijakan; dan
- Harmonisasi kebijakan lintas kementerian untuk memperkuat industri Alsintan nasional.
Melalui kegiatan ini, DTPB FTP UGM menegaskan perannya sebagai fasilitator riset dan kolaborasi lintas sektor untuk mendorong terwujudnya mekanisasi pertanian yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.


