Manado, 18 Oktober 2025 — Prof. Dr. Ir. Sigit Supadmo, M.Eng., Guru Besar Teknik Irigasi Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, menjadi narasumber dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) yang diselenggarakan di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dalam sesi tersebut Prof. Sigit menyampaikan presentasi berjudul “Optimasi Irigasi untuk Pertanian Guna Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan.”
Dalam paparan pembuka, Prof. Sigit menelaah evolusi pengelolaan irigasi—mulai dari periode kerajaan, masa kolonial, hingga pasca-kemerdekaan—dan menyoroti adanya perubahan paradigma sebagai respons atas fenomena empiris yang menunjukkan ketidakselarasan pelaksanaan pembangunan dengan paradigma lama. Pergeseran pemikiran ini, menurutnya, menuntut tinjauan baru terhadap arah kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya air.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Prof. Sigit menggunakan lima pilar modernisasi irigasi sebagai dasar dari optimasi Irigasi untuk mencapai swa sembada pangan, yaitu:
- Ketersediaan air
- Prasarana (infrastruktur)
- Pengelolaan
- Institusi (kelembagaan)
- Sumber Daya Manusia (SDM)
Kelima pilar ini mencakup upaya konservasi dan pemanfaatan air secara optimal, pengendalian risiko hidrometeorologi (banjir dan kekeringan), penyediaan data dan informasi akurat, serta pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan—petani, pemerintah, dan dunia usaha. Prof. Sigit menekankan bahwa fokus program swasembada harus berbasis manusia sebagai intellectual capital, bukan semata-mata infrastruktur.
Dalam meninjau pengalaman sejarah kebijakan, Prof. Sigit menyinggung strategi swasembada pangan era 1984—yang mengandalkan regulasi (mis. UU No. 11/1974), pembangunan infrastruktur, sentralisasi produksi, dan penggerakan birokrasi—namun tidak berlanjut karena sejumlah hambatan: pembiayaan, perubahan iklim, asumsi kebijakan trickle-down yang tak terjadi, serta gagalnya terwujudnya partisipasi publik-swasta (PPP). Pergantian kebijakan pada pemerintahan berikutnya juga menimbulkan turbulensi yang membuat pelaku irigasi kerap menunggu arah kebijakan.
Prof. Sigit menjelaskan perubahan fokus kebijakan belakangan ini, dari pembangunan infrastruktur menuju percepatan rehabilitasi jaringan irigasi, termasuk jaringan tersier yang dianggap problematic serta perlunya koordinasi antar-kementerian untuk mengikis ego sektoral yang selama ini menghambat implementasi.
Untuk memantau kinerja sistem irigasi nasional, diperkenalkan IKSI (Indikator Kinerja Sistem Irigasi) yang mengukur aspek prasarana, produktivitas tanaman, sarana penunjang, organisasi-personalia, dokumentasi, dan peran P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air). Temuan menunjukkan masih banyak daerah berstatus kinerja rendah yang perlu perhatian dan intervensi pemerintah daerah.
Menjelang penutupan, Prof. Sigit mengingatkan bahwa era teknologi 4.0 dan digitalisasi adalah keniscayaan. Langkah digitalisasi serta modernisasi irigasi dan pertanian ini yang menjadi salah satu upaya dalam mencapai optimalisasi irigasi dalam pencapaian swa sembada pangan ke depannya. Beliau menyebut sejumlah inisiatif telah dikembangkan, antara lain SMOPI, E-PAKSI, serta SIPASI ver.2—sistem hasil paten bersama Kementerian PUPR dan UGM—yang sudah diuji di lokasi seperti Tabo-Tabo (BBWS Ponjen) dan Kedungputri (BBWS Serayu Opak). Upaya peningkatan kapasitas petugas juga dilakukan melalui program Knowledge Management Center (IKC) sebagai bagian dari proses pengajuan paten bersama.
Prof. Sigit menutup dengan catatan kritis yang kuat. Menurutnya pemerintah perlu mengurangi orientasi yang berlebihan pada pembangunan infrastruktur semata (infrastrukturisme) dan memberi perhatian lebih besar pada pemberdayaan SDM, penguatan kelembagaan, serta kesejahteraan petugas operasi (OP). Beliau menyoroti beberapa permasalahan mendasar:
- Biaya operasi dan pemeliharaan (OP) yang sangat rendah, tercatat baru sekitar 35% dari kebutuhan aktual (AKNOP) pada 2023–2024;
- Kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak pada status, kesejahteraan, dan peningkatan kapasitas petugas OP;
- Ketidaksempurnaan regulasi—mis. Permen PUPR No. 12/2015 yang lebih menekankan kewajiban petugas tanpa memberikan jaminan hak dan status kepegawaian;
- Kurangnya perhatian terhadap peran petani dalam kebijakan; dan
- Ketiadaan jaminan hukum bagi SDM yang menyebabkan status dan kesejahteraan petugas lapangan tidak terjamin.
Prof. Sigit menegaskan bahwa ironis jika target swasembada pangan dicanangkan, namun status dan kesejahteraan para pelaku utama pengelolaan irigasi belum terjamin. Ia menggarisbawahi bahwa optimalisasi irigasi berkelanjutan tidak cukup hanya membangun fisik, melainkan harus dibangun di atas pondasi kelembagaan yang kuat, SDM yang berdaya, dan tata kelola yang inklusif.
Relevansi SDGs. Gagasan dan rekomendasi Prof. Sigit berkaitan langsung dengan upaya pencapaian beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, terutama SDG 2 (Zero Hunger) melalui dukungan ketahanan pangan, SDG 9 (Industry, Innovation and Infrastructure) melalui pengembangan infrastruktur dan inovasi irigasi, serta SDG 4 (Quality Education) dan SDG 8 (Decent Work and Economic Growth) terkait peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kesejahteraan petugas.
Paparan Prof. Sigit di PIT HATHI 2025 membuka ruang diskusi penting bagi perumusan kebijakan dan praktik pengelolaan irigasi ke depan—menekankan bahwa optimalisasi irigasi harus memadukan teknologi, kelembagaan, dan investasi pada manusia agar tujuan swasembada pangan berkelanjutan dapat tercapai.