Serial Workshop Kelima dalam rangka PKKM 2022 bertajuk Teknologi Fermentasi dan Pengolahan Kakao: Peralatan dan Proses

[:id]Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem (DTPB) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Serial Workshop Kelima dalam rangka implementasi Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) Teknik Pertanian 2022. Workshop ini mengambil tajuk “Teknologi Fermentasi dan Pengolahan Kakao: Peralatan dan Proses” yang disampaikan oleh Noor Ariefandie Febrianto, Ph.D. dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) dan Dr. Ratri Retno Utami, STP., MT. dari Politeknik ATK Yogyakarta. Pada workshop yang dilaksanakan pada Selasa, 27 September 2022 bertindak selaku moderator Bayu Nugraha, S.TP., M.Sc., Ph.D. yang merupakan dosen DTPB.

Poster Kegiatan

Noor Ariefandie Febrianto, Ph.D. mengawali paparannya dengan menyatakan bahwa persoalan kakao di Indonesia paling substansial pada pasca panen. Permasalahan kakao di Indonesia adalah kakao yang tidak difermentasi dengan sifat yang tidak menguntungkan yaitu tinggi free phenolic, aroma kurang, lemak sulit diekstraksi, dan sulit dikupas. Kalau dimakan rasanya pahit dan tidak beraroma cokelat sehingga kakao Indonesia hanya digunakan untuk campuran atau untuk sumber lemak. Fokus pada pasca panen kakao adalah komponen phenolics dan volatile yang menghasilkan aroma. Proses fermentasi kakao sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor yang harus dikendalikan agar fermentasi berhasil.

Pada sesi berikutnya Dr. Ratri Retno Utami menyampaikan bahwa ekspor kakao Indonesia didominasi produk setengah jadi sehingga Indonesia berpotensi kehilangan nilai tambah dari produksi olahan kakao. Permasalahan pasca panen kakao dapat terjadi pada tahap bahan baku, produksi, produk, distribusi, dan konsumen. Beberapa metode fermentasi yaitu dengan kotak kayu, tumpukan, keranjang bambu, dan inokulum. Keberhasilan fermentasi diukur dengan cut test (pengamatan visual), HPLC, (perubahan kandungan asam organik, asam amino, dan gula), atau  indeks fermentasi (perubahan warna ungu menjadi coklat). Dr. Ratri mengakhir presentasinya dengan menyatakan bahwa kualitas kakao Indonesia tidak kalah dari kakao Pantai Gading dan Ghana jika dilakukan pasca panen yang baik dan sesuai standar.

 

[:en]Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem (DTPB) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada menyeenggarakan Serial Workshop Kelima dalam rangka implementasi Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) Teknik Pertanian 2022. Workshop ini mengambil tajuk “Teknologi Fermentasi dan Pengolahan Kakao: Peralatan dan Proses” yang disampaikan oleh Noor Ariefandie Febrianto, Ph.D. dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) dan Dr. Ratri Retno Utami, STP., MT. dari Politeknik ATK Yogyakarta. Pada workshop yang dilaksanakan pada Selasa, 27 September 2022 bertindak selaku moderator Bayu Nugraha, S.TP., M.Sc., Ph.D. yang merupakan dosen DTPB.

Poster Kegiatan

Noor Ariefandie Febrianto, Ph.D. mengawali paparannya dengan menyatakan bahwa persoalan kakao di Indonesia paling substansial pada pasca panen. Permasalahan kakao di Indonesia adalah kakao yang tidak difermentasi dengan sifat yang tidak menguntungkan yaitu tinggi free phenolic, aroma kurang, lemak sulit diekstraksi, dan sulit dikupas. Kalau dimakan rasanya pahit dan tidak beraroma cokelat sehingga kakao Indonesia hanya digunakan untuk campuran atau untuk sumber lemak. Fokus pada pasca panen kakao adalah komponen phenolics dan volatile yang menghasilkan aroma. Proses fermentasi kakao sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor yang harus dikendalikan agar fermentasi berhasil.

Pada sesi berikutnya Dr. Ratri Retno Utami menyampaikan bahwa ekspor kakao Indonesia didominasi produk setengah jadi sehingga Indonesia berpotensi kehilangan nilai tambah dari produksi olahan kakao. Permasalahan pasca panen kakao dapat terjadi pada tahap bahan baku, produksi, produk, distribusi, dan konsumen. Beberapa metode fermentasi yaitu dengan kotak kayu, tumpukan, keranjang bambu, dan inokulum. Keberhasilan fermentasi diukur dengan cut test (pengamatan visual), HPLC, (perubahan kandungan asam organik, asam amino, dan gula), atau  indeks fermentasi (perubahan warna ungu menjadi coklat). Dr. Ratri mengakhir presentasinya dengan menyatakan bahwa kualitas kakao Indonesia tidak kalah dari kakao Pantai Gading dan Ghana jika dilakukan pasca panen yang baik dan sesuai standar.

 

[:]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.