“Penerapan metode SRI di Baumata unggul karena masyarakat dilibatkan dalam menganalisis ekologi dan perubahan iklim melalui analisis penerapan teknologi telemetri, sehingga masyarakat menjadi lebih memahami manajemen pertanian yang tangguh terhadap perubahan iklim”
Akan tetapi, semakin menjauh dari lokasi sumber mata air, akses terhadap air tersebut semakin sulit. Sebagaimana tampak di lokasi pelaksanaan kegiatan “Proyeksi Iklim dan Strategi Adaptasi Budidaya Padi SRI (System of Rice Intensification) terhadap Perubahan Iklim Regional dengan Pendekatan Model Integrasi Iklim-Tanaman-Tanah-Air di Nusa Tenggara Timur” di Desa Baumata dan Desa Tarus yang dilakukan oleh Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, FTP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, melalui pendanaan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
Di desa tersebut, sumber air yang tersedia belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh petani di Desa Baumata yang terdiri atas kurang lebih 533 Kepala Keluarga (KK) dengan 2.442 jiwa yang 95% mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Infrastruktur irigasi permanen masih sedikit dan jalur irigasi di areal persawahan masyarakat dibuat tidak permanen, sehingga bisa diubah-ubah sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Semakin jauh lokasi sawah dengan sumber mata air, maka potensi resiko gagal panennya semakin besar. Hal ini menjadi tantangan utama bagi para petani di sana.
Rata-rata hasil panen padi di Baumata adalah 12 ton per hektar jika cuaca baik dan lokasi sawah dekat dengan sumber air. Jika lokasi sawah semakin jauh dari mata air dan cuaca kering, maka hasil panen berkurang hingga separuhnya yaitu sekitar 6 ton per hektar. Pada tahun 2015, dari 146 hektar lahan pertanian di Baumata, 34,5 hektar gagal panen tanpa menghasilkan apapun. Selebihnya menghasilkan tetapi tidak maksimal. Hal ini dipicu oleh terjadinya kekeringan/ kekurangan air sejak tiga tahun terakhir.
Perubahan iklim menyebabkan peningkatan kelangkaan sumber daya air dan kompetisi penggunaannya yang dapat mengubah pola tanam di Indonesia. Hal ini mengakibatkan mutu hasil pertanian, khususnya padi, yang diperoleh kurang memuaskan, bahkan gagal panen dikarenakan kurangnya pemahaman dalam mempelajari karakteristik iklim dan perubahan cuaca yang ekstrem akibat pemanasan global. Oleh karena itu, pendekatan yang efektif adalah dengan menyesuaikan sistem usaha tani dengan kondisi iklim setempat. Penyesuaian dapat dilakukan salah satunya dengan menganalisis dan menerjemahkan data iklim dan cuaca.
Menanggapi anomali iklim dan cuaca tersebut, tim dari UGM memperkenalkan sistem SRI. SRI merupakan sebuah inovasi metode berkelanjutan untuk pertumbuhan tanaman dengan menggunakan bibit berumur muda (7 hari setelah pembenihan), jarak tanam lebar, pupuk organik, irigasi terputus-putus, dan beberapa penyiangan, yang memiliki produktivitas padi lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan sistem konvensional.Sistem konvensional menggunakan bibit umur lebih panjang (25 hari setelah pembenihan), penggenangan air secara terus-menerus, jarak tanam rapat, dan pemakaian pupuk kimia yang tinggi. Metode SRI ini menjawab persoalan masyarakat petani di Baumata dan Tarus yang terkendala persediaan air untuk irigasi pertanian.
Pada saat ICCTF mengunjungi lokasi program, di sana sedang diselenggarakan sosialisasi kepada petani untuk mengenalkan sistem budidaya padi menggunakan metode SRI sebagai salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim di bidang pertanian. Di lokasi Baumata dan Tarus, masing-masing terdiri atas dua demplot. Satu demplot ditanami padi dengan sistem SRI dan demplot lainnya ditanami padi dengan sistem konvensional sebagai pembanding. Hal ini dilakukan untuk uji coba sekaligus membandingkan hasil dan keunggulan produksi padi yang menggunakan sistem SRI dengan sistem konvensional di daerah tersebut.
Untuk memantau dan merekam data cuaca, di setiap demplot tersebut dipasang sebuah telemetri. Sementara itu, agar hasil telemetri tersebut dapat diterapkan, UGM mengembangkan sebuah teknologi aplikasi untuk menganalisis iklim mikro seperti hujan, suhu, kelembapan tanah yang dapat diakses oleh kelompok tani di lokasi program. Data dari telemetri akan diperbaharui setiap hari selama program berlangsung sehingga memungkinkan untuk dievaluasi pada hari yang sama. Aplikasi ini memiliki potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum ke depannya.
Metode tanam SRI unggul karena hemat air, hemat biaya, hemat waktu, ramah lingkungan, dan hasil panen tinggi. Dalam kegiatan ini, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis ekologi dan perubahan iklim melalui analisis penerapan teknologi telemetri, sehingga masyarakat menjadi lebih memahami manajemen pertanian yang tangguh terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, kegiatan ini sekaligus mendorong kemandirian kelompok tani dalam menentukan metode pertaniannya mulai dari proses pembibitan, penyimpanan, hingga pendistribusian hasil pertanian. Kebanyakan wilayah di Indonesia yang sudah menerapkan metode SRI, belum dipadukan dengan analisis telemetri sebagaimana dikembangkan di Baumata dan Tarus. (AFD)
Kontributor: Bayu Dwi Apri Nugroho, PhD.
Artikel asli dapat diakses disini.