Pengukuhan Prof. Sigit Supadmo: Memotong Garis Kemiskinan Melalui Pembangunan Irigasi

Seperti halnya negara yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada banyak persoalan, terutama terkait masalah keamanan dan stabilitas politik, kehancuran ekonomi, kemiskinan dan kekurangan pangan. Keadaan ini berpengaruh terhadap pembangunan dan pengelolaan irigasi di Indonesia. 
Dari tahun 1945 sampai dengan masa Orde Baru, hanya sedikit sistim irigasi yang dibangun. Bahkan sistim irigasi yang dibangun semenjak penjajahan Belanda banyak yang terlantar begitu saja. Akibatnya Indonesia pun masih tetap menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. 

“Dengan mengacu fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka pemerintah Orde Baru memfokuskan pembangunan sektor sumberdaya air terutama pembangunan irigasi. Adapun maksud tujuan pembangunan ini adalah untuk memotong garis kemiskinan melalui peningkatan produksi pertanian,” papar Prof. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng., Ph.D, di ruang Balai Senat UGM, Senin (25/5). 

Dirinya mengatakan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Dihadapan sidang Majelis Guru Besar (MGB) UGM, pria kelahiran Semarang 16 Mei 1952, ini menyampaikan pidato berjudul “Mengembalikan Irigasi Untuk Kepentingan Rakyat”. 

Dikatakannya, bahwa untuk untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah Orde Baru menempuh tiga strategi, yaitu pembangunan infrastruktur, pemberian insentif pada petani dan pengembangan institusi, termasuk penyusunan hukum perundangan dan organisasi pengelolaannya. selain itu, sebagai bagian dari pengembangan institusi maka pada tahun 1974 keluar Undang-Undang tentang Pengairan sebagai pengganti aturan kolonial AWR 1936, menyusul kemudian penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang irigasi di tahun 1982. 

“Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kecepatan pembangunan lahan beririgasi di Indonesia, sampai dengan tahun 1990 telah tercetak lebih dari 4,0 juta ha, yang hampir separuhnya terletak di Pulau Jawa,” katanya. 

Meski pembangunan irigasi dilakukan berbasis pembangunan infrastruktur, tetapi secara normatif masalah pembinaan masyarakat mulai menjadi perhatian pemerintah. Oleh karenanya, pada tahun 1969 keluar Instruksi Presiden tentang pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan disusul dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembinaan P3A. Dengan demikian secara legal berakhirlah peran ulu-ulu sebagai pengelola irigasi di aras tersier maupun ulu-ulu golongan tanam dan digantikan oleh suatu organisasi petani. 

Menurut Sigit Supadmo, hampiran yang dipakai dalam pengelolaan irigasi masa Orde Baru ini disebut sebagai manajemen produksi. Bahwa asa ini mengedepankan monosentrisitas dengan menjadikan pemerintah bertindak sebagai pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan menentukan tujuan manajemen. 

“Dengan demikian manajemen irigasi secara keseluruhan akan bersifat manajemen produksi. Salah satu cirinya adalah pelaksanaan manajemen dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial. Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Indonesia berhasil mencapai swa sembada beras pada tahun 1984, dimana keberhasilan ini juga diuntungkan dengan adanya revolusi hijau,” tandas suami Tuti Mariam, ayah dua anak Ratri Kartikatingtyas dan Rahmad Amiluhurjati ini.

Original Post dari website ugm.ac.id oleh Humas UGM.


Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.