[:id]Sumberdaya air di Daerah Istimewa Yogyakarta berupa mata air, sungai, embung, dan waduk mengalami tekanan kerusakan yang semakin cepat dan luas disebabkan oleh pembangunan yang tidak mengindahkan kaidah alam, etika dan peraturan. Kerusakan yang terjadi berupa hilangnya mata air, kerusakan fisik sungai, kerusakan sempadan sungai, tercemarnya sungai oleh limbah cair dan sampah, serta menurun dan bahkan hilangnya biota air yang bermanfaat bagi sistem ekologi dan ekonomi.
Dampak negatif telah dirasakan oleh masyarakat dari kerusakan sumberdaya air antara lain banjir, longsor, menurunnya ketersediaan air, menurunnya kualitas air, penyumbatan sampah di sungai dan saluran air lainnya, meningkatnya konflik air, dan kerusakan prasarana dan sarana fisik lainnya. Air sungai yang tercemar juga digunakan oleh petani untuk mengairi sawahnya.
Kekhawatiran tersebut mendorong Fakultas Teknologi Pertanian, khususnya Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, bersama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Fakultas Teknologi Pertanian (KAGAMA TP), Asosiasi Komunitas Peduli Sungai Yogyakarta (AKSY), dan Gerakan Irigasi Bersih (GIB) memprakarsai deklarasi pengelolaan sumber daya air berkelanjutan di UGM Yogyakarta, Selasa (19/12). Deklarasi ini untuk menggaungkan sungai bebas pencemaran baik padat, cair dan gas. Deklarasi dibacakan oleh Endang (AKSY) didampingi oleh Dr. Saiful Rochdyando (KAGAMA TP), Sunardi Wiyono (GIB), dan Prof. Sigit Supadmo Arif (FTP). di Taman Kearifan (Wisdom Park)UGM.
Guru Besar Teknik Pertanian dan Biosistem UGM, Sigit Supadmo Arif mengatakan bahwa solusi agar air sungai kembali menjadi andalan pertanian adalah mengajak semua pihak menghargai sungai. Pengguna harus taat aturan, warga jangan buang sampai dan limbah ke sungai. Cara itu yang bisa membuat sumber daya air bisa berkelanjutan. Kearifan lokal dan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana yang mengandung makna menjaga Bawana (dunia) ini tetap Hayu (indah) dan Rahayu (lestari) merupakan filosofi dan ciri khas tata nilai budaya Yogyakarta yang bersifat universal, komprehensif, holistik, dan selaras, sangat relevan untuk dikedepankan dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyadaran pada masyarakat dan edukasi sejak dini perlu terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan tindakan saat ini dan dimasa depat agar tetap selaras dengan tata nilai dan aturan yang ada
Kontributor: Murtiningrum, Sigit Supadmo Arif, Rohmad Basuki
Foto: Saiful Rochdyanto[:en]Sumberdaya air di Daerah Istimewa Yogyakarta berupa mata air, sungai, embung, dan waduk mengalami tekanan kerusakan yang semakin cepat dan luas disebabkan oleh pembangunan yang tidak mengindahkan kaidah alam, etika dan peraturan. Kerusakan yang terjadi berupa hilangnya mata air, kerusakan fisik sungai, kerusakan sempadan sungai, tercemarnya sungai oleh limbah cair dan sampah, serta menurun dan bahkan hilangnya biota air yang bermanfaat bagi sistem ekologi dan ekonomi.
Dampak negatif telah dirasakan oleh masyarakat dari kerusakan sumberdaya air antara lain banjir, longsor, menurunnya ketersediaan air, menurunnya kualitas air, penyumbatan sampah di sungai dan saluran air lainnya, meningkatnya konflik air, dan kerusakan prasarana dan sarana fisik lainnya. Air sungai yang tercemar juga digunakan oleh petani untuk mengairi sawahnya.
Kekhawatiran tersebut mendorong Fakultas Teknologi Pertanian, khususnya Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, bersama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Fakultas Teknologi Pertanian (KAGAMA TP), Asosiasi Komunitas Peduli Sungai Yogyakarta (AKSY), dan Gerakan Irigasi Bersih (GIB) memprakarsai deklarasi pengelolaan sumber daya air berkelanjutan di UGM Yogyakarta, Selasa (19/12). Deklarasi ini untuk menggaungkan sungai bebas pencemaran baik padat, cair dan gas. Deklarasi dibacakan oleh Endang (AKSY) didampingi oleh Dr. Saiful Rochdyando (KAGAMA TP), Sunardi Wiyono (GIB), dan Prof. Sigit Supadmo Arif (FTP).
Guru Besar Teknologi Pertanian UGM Sigit Supadmo Arif mengatakan bahwa solusi agar air sungai kembali menjadi andalan pertanian adalah mengajak semua pihak menghargai sungai. Pengguna harus taat aturan, warga jangan buang sampai dan limbah ke sungai. Cara itu yang bisa membuat sumber daya air bisa berkelanjutan. Kearifan lokal dan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana yang mengandung makna menjaga Bawana (dunia) ini tetap Hayu (indah) dan Rahayu (lestari) merupakan filosofi dan ciri khas tata nilai budaya Yogyakarta yang bersifat universal, komprehensif, holistik, dan selaras, sangat relevan untuk dikedepankan dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyadaran pada masyarakat dan edukasi sejak dini perlu terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan tindakan saat ini dan dimasa depat agar tetap selaras dengan tata nilai dan aturan yang ada
[:]